Selasa, 16 Agustus 2016

JEMARI HATIKU


“Allahuakbar…. Allahuakbar.”Muazin itu mengalunkan ayat-ayat-Nya untuk membangunkan dan memangil umat Islam agar bangun dari tidur malam, lalu menunaikan shalat subuh. Alunan itu berasal dari toa yang dipasang diatas masjid Al-Iman. Masjid itu berada dekat  sekali dengan rumah I’al. I’al adalah putra dari pasangan Rehan Danu dan Sukma Witri.  I’al telah lama ditinggal pergi  oleh ayahnya, sejak I’al berusia baru dua tahun. Kini I’al  tinggal bersama dengan bunda  Sukma. Pagi itu  rumah I’al memang sangatlah dingin, mengapa tidak? Hujan mengguyur  bumi malam itu.
“Tok-tok-tok, I’al bangun nak, shalat subuh dulu!” kata-kata itu berasal dari bibir seorang bunda.
“Ih…iya iya bun” mendadak berubah arah, yang awalnya tidur mengarah ke pintu kini berubah membelakangi pintu dan menarik selimut panjang dari ujung kaki sampai ujung rambut hingga tertutup.
“I’al ayo nak, setelah shalat bisa disambung lagi tidurnya.”
“Iya iya bunda shalat saja dulu, entar I’al nyusul” tangan I’al sambil meraih bantalyang berada di bawah kepala untuk menutupi telinga, sedangkan bunda lirih mendengar ucapannya, tangan yang awalnya mengetuk pintu berubah menghelus dada seperti merasa bersalah dengan didikannya selama ini.
Selama tiga tahun I’al merantau menuntut ilmu di pesantren Al-Madani, I’al tidak ada bedanya. Malah makin kacau tingkah lakunya. Sebenarnya bunda mengantarkan I’al ke pesantren itu agar tingkah lakunya berubah, menjadi anak  yang soleh dan tidak pernah mencuri uang bunda lagi. Padahal kata banyak orang, kalau keluar dari pesantren itu, kelakuannya bisa menjadi baik. Karena pesantren itu terkenal di kota medan.
Setelah mandi I’al kelur dari kamar. I’al mencari-cari keberadaan bunda. Rambut I’al pun masih basah. Selama semalaman I’al tidur bau iler melumpuri tubuhnya. Pembasmi masalahnya adalah mandi.
“Bun, bunda” sambil menenteng handuk putih.
“Kemanalah bundaku ini?” mata sambil melirik penuh seluruh isi ruang tamu. I’al mencoba melangkah ke meja makan, dapur dan halaman. Hingga lelah.  Tiba-tiba mata I’al pun mengarah ke  satu kamar di hadapannya. Yaitu kamar bunda. Dan saat itu pintunya sedikit terbuka,
“Ya ampun bunda di kamar” sambil menuju kekamar dan isi kamar kosong.
“Loh mana ya bunda?, pagi-pagi begini sudah entah kemana, di dapur, gak ada, di halaman, gak ada, di.. eh tunggu, lemari bunda kok terbuka” sambil menuju ke lemari.
“Aha, ini saatnya. Mumpung bunda tidak ada di rumah, aku ambil saja tabungan bunda, lumayankan untuk tambah-tambah uang jajan.” Guman I’al dalam hati sambil matanya kesana- kesini. Lari menuju ke depan pintu untuk melihat tidak ada bunda dan aman tidak ada orang di rumah. Kemudian I’al menutup pintu bunda. Dan I’al  kembali lagi kedalam kamar dengan wajah bahagia.
“Tapi dimana ya bunda menyembunyikan tabungan bunda?” sambil mengacak semua yang ada di dalam lemari.  Telah lama ia membongkar. Tiba tiba I’al menemukan sebuah buku berwarna merah dari lipatan baju bunda.
“Eh ini apa?, jemari hati? Apa maksudnya?” bingung mewarnai raut muka I’al, dan dicoba untuk membukanya secara perlahan halaman utama. Dan bertuliskan “Anakku Sayang, Bunda Minta Maaf.”
“Apa maksudnya ya?” bingung disertai curiga semakin timbul.
Tiba-tiba pintu bunda terbuka
“Krek” Ial langsung menyembunyikan buku itu kedalam handuk yang dibawa tadi.
“I’al ngapain kamu di kamar bunda nak?” wajah bunda bertanya-tanya. Wajah I’al kelihatan panik
“E..e.. kamu ambil uang tabungan bunda ya?, sini kembalikan.”
“Enggak…engak. Enak saja bunda. Kalau tidak percaya periksa saja sendiri.” Bunda pun mencoba periksa, namun I’al malah kabur dari penglihatan bunda menuju kekamar I’al.
“O iya masih ada tabungan bunda. Kamu sekarang sudah berubah ya nak. Bunda bangga sekali sama kamu. Seperti itu donk. Itu baru anak bun” tidak sempat bunda menyelesaikan pembicaraan, bunda melihat I’al sudah tidak ada didalam kamar.
“Loh…loh. Mana I’al?”sambil menggaruk garuk kepala.
I’al yang baru keluar dari kamar bunda pun lari untuk masuk ke kamar I’al.
“Brak,” menutup dengan sangat keras.  Kemudian mencoba membuka di halaman selanjutnya. Dengan rasa penasaran dan tangan bergemetar I’al pun membuka dengan penuh tanda tanya. Kata demi kata pun dibaca. Halaman demi halaman pun dibuka, namun I’al menemukan sesuatu tulisan yang membuat hati I’al bergetar.
Untuk Muhammad Isan Al-Rasyid Susanto (I’al)
Nak, telah lama bunda pendam rasa ini nak, bunda tak sanggup lagi memikulnya. Nak, bunda sudah tidak mungkin mendampingimu nak. Bunda harus pergi. Bunda memiliki penyakit kanker yang sudah parah. Sakit sekali nak. Sengaja bunda tidak beritahu kepadamu, agar I’al tidak kepikiranl. Namun saat bunda melihatmu nak, rasa sakit yang bunda rasakan mendadak hilang. Namun saat kamu pergi meninggalkan bunda rasa sakit itu muncul kembali.Nak , bunda menghantarkan kamu ke pesantren Al-Madani, agar kamu bisa menjadi anak yang soleh. Mendoakan bunda setiap saat jika bunda telah tiada. Dan tanpa bunda kamu dapat bahagia di jalanNya nak. Bunda pinta, saat hembusan terakhir bunda, kamu berada di pelukan bunda nak. O iya nak, kamu mirip sekali dengan ayahmu nak. Sangat tampan. Kata-kata terakhir bunda, bunda mencintaimu dan ayahmu karena Allah Nak.
Isak tangis yang membanjiri pipi I’al tak bisa dibendung lagi. Semua pecah. Nafas pun tak beraturan. Hanya desahan yang terdengar. I’al merasa sakit hati dengan kebodohanya selama ini. Tanpa pikir panjang I’al membuka pintu kamar, keluar, kembali kekemar bunda. Dengan membawa buku merah tadi. Dengan mata memerah nafas terbata-bata. I’al membuka kamar dan masuk ke kamar bunda.
“Krek” I’al berdiri tegak dan kepala menunduk
“Eh I’al, loh mata kamu kok merah nak, kamu habis nangis ya?, ada apa nak, cerita sama bunda.” Sambil mendatangi I’al dan mengajak I’al duduk di  sudutkasur bunda.
“Ayo duduk nak?”
“Tidak usah bun. Bunda…! Apa yang bunda sembunyikan dari I’al bun?”dengan bentakan keras. Hati bunda lirih mendengarnya.
“Maksud kamu apa nak? Bunda tidak mengerti.” dijawab lembut oleh bunda, wajah penuh tanda Tanya.
“Bunda selalu pergi kerumah sakit. Untuk periksa penyakit bundakan. Iyakan?. Dan penyakit bunda sekarang sudah mendarah daging. Dan I’al  tinggal sendirian bun…. Bunda akan meninggalkan I’al sendirian. I’al nanti dengan siapa bun?” tangis I’al pecah, air matanya tumpah. Banjir air mata mewarnai kamar. Namun responbunda beda, bunda malah tertawa. Mengekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“I’al mendapatkan berita itu dari mana nak?”
“Ini, ini bun. Buku ini I’al temukan disela-sela tumpukan baju bunda. Ini bun” sambil menyodorkan buku merah hati itu ke tangan bunda.
“He..he. ehm” namun bunda tetap tertawa.
“Kenapa bun? Kenapa bunda tertawa. O, bunda senangkan meninggalkan I’al sendiri. Iyakan bun?”
“Bukan. Buakan nak, bunda lucu saja lihat ekspresimu.”
“ kenapa bun?”
“O masalah buku itu, itu memeng buku bunda. I’al kan tahu kalau bundakan suka menulis. Nah, disitiulah bunda menulisnya.” Mencoba meyakinkan I’al. dan seketika tangis I’al mereda.  Namun bunda seprti menyembunyikan sesuatu. Bunda melangkah menuju I’al
“Jadi itu buku goresan semata?.” Bunda tidak menjawab tanya dari I’al.
“Nak kemarilah, kamu jangan ngomong sepetri itu ya nak.” Sambil menghapus air mata di pipi I’al
“Iya bun, Maaf kan saya bun”
Sini dekat bunda nak, bunda kangen sekali sama kamu nak. Bunda tidak mau kehilanganmu nak” Sambil memeluk I’al dengan menghelus-helus lembut kepala I’al.
“Iya bun. I’al minta maaf ya bun. Kalau I’al ada salah sama bunda selama ini.I’al menyesal sekali bicara seperti itu.” Dengan menumpahkan air mata kembali. Bunda pun mendadak menumpahkan air mata hingga mengenai kepala I’al. Dan helusan bunda mensurut berhenti.
“Bun, I’al akan berjanji, I’al akan rajin shalat dan menjadi anak yang soleh seperti anak yang bunda harapkan. Dan I’al tidak akan mengambil uang bunda lagi.” Sambil melihat wajah bunda yang sedang menitihkan air mata dengan wajah tersenyum.
“Tapi bun, kenapa bunda menulis itu bun?  I’al jadi binggung. Bun? “ sambil melihat kembali raut wajah bunda. Bibir tersenyum dengan mata terpejam.
“Bun jawab dong bun?” tidak ada jawaban dari bunda. Bunda hanya tersenyum dengan mata terpejam. Lama memeluk I’al, bunda jatuh terbaring di kasur tanpa helaan nafas. Diraih tangan mencoba diraba denyut nadi bunda, dan ternyata.
“Bun..bundaaaaaaaaaaaaaa”.


Telah diterbitkan oleh koranWaspada
Deli serdang, 22 Desember 2013









Tidak ada komentar:

Posting Komentar