“Allahuakbar….
Allahuakbar.”Muazin itu mengalunkan ayat-ayat-Nya untuk membangunkan dan
memangil umat Islam agar bangun dari tidur malam, lalu menunaikan shalat subuh.
Alunan itu berasal dari toa yang dipasang diatas masjid Al-Iman. Masjid itu
berada dekat sekali dengan rumah I’al. I’al
adalah putra dari pasangan Rehan Danu dan Sukma Witri. I’al telah lama ditinggal pergi oleh ayahnya, sejak I’al berusia baru dua tahun.
Kini I’al tinggal bersama dengan bunda Sukma. Pagi itu rumah I’al memang sangatlah dingin, mengapa
tidak? Hujan mengguyur bumi malam itu.
“Tok-tok-tok,
I’al bangun nak, shalat subuh dulu!” kata-kata itu berasal dari bibir seorang
bunda.
“Ih…iya
iya bun” mendadak berubah arah, yang awalnya tidur mengarah ke pintu kini
berubah membelakangi pintu dan menarik selimut panjang dari ujung kaki sampai
ujung rambut hingga tertutup.
“I’al
ayo nak, setelah shalat bisa disambung lagi tidurnya.”
“Iya iya
bunda shalat saja dulu, entar I’al nyusul” tangan I’al sambil meraih bantalyang
berada di bawah kepala untuk menutupi telinga, sedangkan bunda lirih mendengar
ucapannya, tangan yang awalnya mengetuk pintu berubah menghelus dada seperti
merasa bersalah dengan didikannya selama ini.
Selama
tiga tahun I’al merantau menuntut ilmu di pesantren Al-Madani, I’al tidak ada
bedanya. Malah makin kacau tingkah lakunya. Sebenarnya bunda mengantarkan I’al
ke pesantren itu agar tingkah lakunya berubah, menjadi anak yang soleh dan tidak pernah mencuri uang
bunda lagi. Padahal kata banyak orang, kalau keluar dari pesantren itu,
kelakuannya bisa menjadi baik. Karena pesantren itu terkenal di kota medan.
Setelah
mandi I’al kelur dari kamar. I’al mencari-cari keberadaan bunda. Rambut I’al
pun masih basah. Selama semalaman I’al tidur bau iler melumpuri tubuhnya.
Pembasmi masalahnya adalah mandi.
“Bun, bunda”
sambil menenteng handuk putih.
“Kemanalah
bundaku ini?” mata sambil melirik penuh seluruh isi ruang tamu. I’al mencoba melangkah
ke meja makan, dapur dan halaman. Hingga lelah.
Tiba-tiba mata I’al pun mengarah ke
satu kamar di hadapannya. Yaitu kamar bunda. Dan saat itu pintunya
sedikit terbuka,
“Ya
ampun bunda di kamar” sambil menuju kekamar dan isi kamar kosong.
“Loh mana
ya bunda?, pagi-pagi begini sudah entah kemana, di dapur, gak ada, di halaman,
gak ada, di.. eh tunggu, lemari bunda kok terbuka” sambil menuju ke lemari.
“Aha,
ini saatnya. Mumpung bunda tidak ada di rumah, aku ambil saja tabungan bunda,
lumayankan untuk tambah-tambah uang jajan.” Guman I’al dalam hati sambil
matanya kesana- kesini. Lari menuju ke depan pintu untuk melihat tidak ada
bunda dan aman tidak ada orang di rumah. Kemudian I’al menutup pintu bunda. Dan
I’al kembali lagi kedalam kamar dengan wajah
bahagia.
“Tapi
dimana ya bunda menyembunyikan tabungan bunda?” sambil mengacak semua yang ada
di dalam lemari. Telah lama ia
membongkar. Tiba tiba I’al menemukan sebuah buku berwarna merah dari lipatan
baju bunda.
“Eh ini
apa?, jemari hati? Apa maksudnya?” bingung mewarnai raut muka I’al, dan dicoba
untuk membukanya secara perlahan halaman utama. Dan bertuliskan “Anakku Sayang, Bunda Minta Maaf.”
“Apa
maksudnya ya?” bingung disertai curiga semakin timbul.
Tiba-tiba
pintu bunda terbuka
“Krek”
Ial langsung menyembunyikan buku itu kedalam handuk yang dibawa tadi.
“I’al
ngapain kamu di kamar bunda nak?” wajah bunda bertanya-tanya. Wajah I’al
kelihatan panik
“E..e..
kamu ambil uang tabungan bunda ya?, sini kembalikan.”
“Enggak…engak.
Enak saja bunda. Kalau tidak percaya periksa saja sendiri.” Bunda pun mencoba
periksa, namun I’al malah kabur dari penglihatan bunda menuju kekamar I’al.
“O iya
masih ada tabungan bunda. Kamu sekarang sudah berubah ya nak. Bunda bangga
sekali sama kamu. Seperti itu donk. Itu baru anak bun” tidak sempat bunda
menyelesaikan pembicaraan, bunda melihat I’al sudah tidak ada didalam kamar.
“Loh…loh.
Mana I’al?”sambil menggaruk garuk kepala.
I’al
yang baru keluar dari kamar bunda pun lari untuk masuk ke kamar I’al.
“Brak,”
menutup dengan sangat keras. Kemudian
mencoba membuka di halaman selanjutnya. Dengan rasa penasaran dan tangan
bergemetar I’al pun membuka dengan penuh tanda tanya. Kata demi kata pun
dibaca. Halaman demi halaman pun dibuka, namun I’al menemukan sesuatu tulisan yang
membuat hati I’al bergetar.
Untuk Muhammad Isan Al-Rasyid
Susanto (I’al)
Nak, telah lama bunda pendam rasa
ini nak, bunda tak sanggup lagi memikulnya. Nak, bunda sudah tidak mungkin
mendampingimu nak. Bunda harus pergi. Bunda memiliki penyakit kanker yang sudah
parah. Sakit sekali nak. Sengaja bunda tidak beritahu kepadamu, agar I’al tidak
kepikiranl. Namun saat bunda melihatmu nak, rasa sakit yang bunda rasakan
mendadak hilang. Namun saat kamu pergi meninggalkan bunda rasa sakit itu muncul
kembali.Nak , bunda menghantarkan kamu ke pesantren Al-Madani, agar kamu bisa
menjadi anak yang soleh. Mendoakan bunda setiap saat jika bunda telah tiada.
Dan tanpa bunda kamu dapat bahagia di jalanNya nak. Bunda pinta, saat hembusan
terakhir bunda, kamu berada di pelukan bunda nak. O iya nak, kamu mirip sekali
dengan ayahmu nak. Sangat tampan. Kata-kata terakhir bunda, bunda mencintaimu
dan ayahmu karena Allah Nak.
Isak
tangis yang membanjiri pipi I’al tak bisa dibendung lagi. Semua pecah. Nafas
pun tak beraturan. Hanya desahan yang terdengar. I’al merasa sakit hati dengan
kebodohanya selama ini. Tanpa pikir panjang I’al membuka pintu kamar, keluar,
kembali kekemar bunda. Dengan membawa buku merah tadi. Dengan mata memerah
nafas terbata-bata. I’al membuka kamar dan masuk ke kamar bunda.
“Krek”
I’al berdiri tegak dan kepala menunduk
“Eh
I’al, loh mata kamu kok merah nak, kamu habis nangis ya?, ada apa nak, cerita
sama bunda.” Sambil mendatangi I’al dan mengajak I’al duduk di sudutkasur bunda.
“Ayo
duduk nak?”
“Tidak
usah bun. Bunda…! Apa yang bunda sembunyikan dari I’al bun?”dengan bentakan
keras. Hati bunda lirih mendengarnya.
“Maksud
kamu apa nak? Bunda tidak mengerti.” dijawab lembut oleh bunda, wajah penuh
tanda Tanya.
“Bunda
selalu pergi kerumah sakit. Untuk periksa penyakit bundakan. Iyakan?. Dan
penyakit bunda sekarang sudah mendarah daging. Dan I’al tinggal sendirian bun…. Bunda akan
meninggalkan I’al sendirian. I’al nanti dengan siapa bun?” tangis I’al pecah,
air matanya tumpah. Banjir air mata mewarnai kamar. Namun responbunda beda,
bunda malah tertawa. Mengekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“I’al
mendapatkan berita itu dari mana nak?”
“Ini, ini
bun. Buku ini I’al temukan disela-sela tumpukan baju bunda. Ini bun” sambil
menyodorkan buku merah hati itu ke tangan bunda.
“He..he.
ehm” namun bunda tetap tertawa.
“Kenapa
bun? Kenapa bunda tertawa. O, bunda senangkan meninggalkan I’al sendiri. Iyakan
bun?”
“Bukan.
Buakan nak, bunda lucu saja lihat ekspresimu.”
“ kenapa
bun?”
“O masalah
buku itu, itu memeng buku bunda. I’al kan tahu kalau bundakan suka menulis.
Nah, disitiulah bunda menulisnya.” Mencoba meyakinkan I’al. dan seketika tangis
I’al mereda. Namun bunda seprti
menyembunyikan sesuatu. Bunda melangkah menuju I’al
“Jadi
itu buku goresan semata?.” Bunda tidak menjawab tanya dari I’al.
“Nak
kemarilah, kamu jangan ngomong sepetri itu ya nak.” Sambil menghapus air mata
di pipi I’al
“Iya bun,
Maaf kan saya bun”
Sini
dekat bunda nak, bunda kangen sekali sama kamu nak. Bunda tidak mau
kehilanganmu nak” Sambil memeluk I’al dengan menghelus-helus lembut kepala
I’al.
“Iya
bun. I’al minta maaf ya bun. Kalau I’al ada salah sama bunda selama ini.I’al
menyesal sekali bicara seperti itu.” Dengan menumpahkan air mata kembali. Bunda
pun mendadak menumpahkan air mata hingga mengenai kepala I’al. Dan helusan
bunda mensurut berhenti.
“Bun,
I’al akan berjanji, I’al akan rajin shalat dan menjadi anak yang soleh seperti
anak yang bunda harapkan. Dan I’al tidak akan mengambil uang bunda lagi.”
Sambil melihat wajah bunda yang sedang menitihkan air mata dengan wajah
tersenyum.
“Tapi
bun, kenapa bunda menulis itu bun? I’al
jadi binggung. Bun? “ sambil melihat kembali raut wajah bunda. Bibir tersenyum
dengan mata terpejam.
“Bun
jawab dong bun?” tidak ada jawaban dari bunda. Bunda hanya tersenyum dengan
mata terpejam. Lama memeluk I’al, bunda jatuh terbaring di kasur tanpa helaan
nafas. Diraih tangan mencoba diraba denyut nadi bunda, dan ternyata.
“Bun..bundaaaaaaaaaaaaaa”.
Telah diterbitkan oleh koranWaspada
Deli
serdang, 22 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar