Namaku Kardus. Umurku sekarang menapaki
6 tahun, kata Ibu.
Aku
tinggal dengan Ayah dan Ibu di lingkungan kumuh, padat penghuni tepat di bawah
kolong itu, iya jembatan.
Kalau
hujan, maka banjirlah. Kalau banjir maka pindah lah.
Mainanku
kaleng dan sampah. Aku bermain di tempat pembuangan akhir.
Sekaligus, Ayah dan Ibu biasa bekerja di
sana. Mengais sampah yang masih berguna.
Karena itu, aku tidak memiliki teman.
Mereka tidak mau bermain denganku
Kata mereka “Badanmu bau, kayak sampah!”
Lalu aku mendekatkann lenganku ke
hidung, lalu ku endus, ternyata benar.
Kemudian mereka pergi.
Pasti kalian juga heran, kenapa namaku Kardus?.
Aku juga.
Selain kalian, ada teman sebaya, ada
tetanga
lalu tukang es, lalu tukang sayur, dan mereka
juga heran akan namaku.
Kalau
mereka bertanya kenapa namaku Kardus?, aku menjawab “eeee” lalu menggeleng, malu,
merunduk dan pergi, pergi secepat mungkin agar bau badanku tidak diendus oleh
mereka. Kasihan mereka.
Pernah
juga aku bertanya kepada Ayah dan Ibu siang itu, “Yah, Ibu, kata orang-orang
setiap nama punya arti ya?” tanyaku manja, “Iya” jawab Ibu. “Apa arti dari nama
kardus untukku? Kenapa namaku Kardus?” tanyaku langsung.
Ayah
dan Ibu langsung diam. Lalu sibuk beristirahat. Ya baru pulang dari TPA. Mencari
sampah berguna.
“Yah,
Bu!” tegasku. Mereka berhenti sejenak. Ibu kemudian menghampiriku, mengelus
rambutku. Sementara Ayah geletak diamben Koran.
Lalu
ibu senyum dan menggeleng. Tanda ibu tidak ingin menjawab. Aku kesal.
Lalu
aku pergi, bermain di TPA itu, kembali bersama kaleng, kembali bersama sampah-sampah.
Yang
membuat sampai sekarang aku bingung, mengapa aku bahagia bermain bersama sampah.
Walaupun
tak punya teman.
Habis
siang sore pun tiba.
Masih
nyaman bermain.
Awan
pun menghitam seketika, lalu hujan, dan deras.
Aku
masih belum mau pulang, lalu aku berlindung di tenda buatanku, kecil agar tak
ada yang bisa menemukanku.
Airnya
merembes ke tanah dan lubang di tendaku,
ujung bajuku sedikit basah .
Lalu
rintikannya sedikit demi sedikit reda, tapi aku belum mau keluar. Karena diluar
masih basah.
Tiba-tiba
aku mendengar langkah seseorang yang datang menghampiriku.
Tepat
dari belakangku. Aku tidak bisa melihatnya. Karna belakangku gundukan sampah. Langkahnya
pelan. Aku sangat senang, aku yakin itu Ibu. Ibu menjemputku, membawakan payung
agar aku pulang.
Lalu
aku disiapkan makanan, disiapkan telur goreng kesukaanku. Karena ibu tidak
menjawab pertanyaanku.
Namun,
Langkah itu mendadak terhenti, agak lama.
Aku
tetap diam hingga sampai Ibu menemui ku.
Sengaja
aku lakukan itu.
Namun
langkah itu tiba-tiba kembali hadir, tapi menjauh meninggalkanku.
Lalu
aku kecewa. Kenapa Ibu tidak menemukanku? atau sekedar memanggil namaku?.
Aku
pun keluar dari tenda dengan cepat, aku melihat seorang wanita berlari kemudian
masuk kedalam mobil dan bukan Ibuku, lalu pergi. Siapa dia? batinku.
Aku
pandangi mobil itu bergerak meninggalkan tempat berdiriku dengan gerismis
membanjiri tubuhku.
Lalu
aku mendengar ada tangisan disekitarku.
Lalu
suaranya pelan, kecil, sesak.
Aku
mencarinya, lalu aku menemukan kardus rapi dan tidak basah dekat tendaku tadi, lalu
aku heran, lalu aku buka perlahan. Lalu aku melihat adik bayi yang lucu
diselimuti kain disekujur tubuhnya sambil menangis
Lalu
dan lalu.
Lalu
aku panggil adik itu dengan “Adik kardus”.
Diterbitkan oleh Selasar.com
Medan, 7 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar