Senin, 11 Desember 2017

KARDUS




Namaku Kardus. Umurku sekarang menapaki 6 tahun, kata Ibu.
Aku tinggal dengan Ayah dan Ibu di lingkungan kumuh, padat penghuni tepat di bawah kolong itu, iya jembatan.
Kalau hujan, maka banjirlah. Kalau banjir maka pindah lah.
Mainanku kaleng dan sampah. Aku bermain di tempat pembuangan akhir.
Sekaligus, Ayah dan Ibu biasa bekerja di sana. Mengais sampah yang masih berguna.
Karena itu, aku tidak memiliki teman. Mereka tidak mau bermain denganku
Kata mereka “Badanmu bau, kayak sampah!”
Lalu aku mendekatkann lenganku ke hidung, lalu ku endus, ternyata benar.
Kemudian mereka pergi.


Pasti kalian juga heran, kenapa namaku Kardus?. Aku juga.
Selain kalian, ada teman sebaya, ada tetanga
lalu tukang es, lalu tukang sayur, dan mereka juga heran akan namaku.
Kalau mereka bertanya kenapa namaku Kardus?, aku menjawab “eeee” lalu menggeleng, malu, merunduk dan pergi, pergi secepat mungkin agar bau badanku tidak diendus oleh mereka. Kasihan mereka.
Pernah juga aku bertanya kepada Ayah dan Ibu siang itu, “Yah, Ibu, kata orang-orang setiap nama punya arti ya?” tanyaku manja, “Iya” jawab Ibu. “Apa arti dari nama kardus untukku? Kenapa namaku Kardus?” tanyaku langsung. 
Ayah dan Ibu langsung diam. Lalu sibuk beristirahat. Ya baru pulang dari TPA. Mencari sampah berguna.
“Yah, Bu!” tegasku. Mereka berhenti sejenak. Ibu kemudian menghampiriku, mengelus rambutku. Sementara Ayah geletak diamben Koran.
Lalu ibu senyum dan menggeleng. Tanda ibu tidak ingin menjawab. Aku kesal.

Lalu aku pergi, bermain di TPA itu, kembali bersama kaleng, kembali bersama sampah-sampah.
Yang membuat sampai sekarang aku bingung, mengapa aku bahagia bermain bersama sampah.
Walaupun tak punya teman. 

Habis siang sore pun tiba.
Masih nyaman bermain.
Awan pun menghitam seketika, lalu hujan, dan deras.
Aku masih belum mau pulang, lalu aku berlindung di tenda buatanku, kecil agar tak ada yang bisa menemukanku.
Airnya merembes ke  tanah dan lubang di tendaku, ujung bajuku sedikit basah .
Lalu rintikannya sedikit demi sedikit reda, tapi aku belum mau keluar. Karena diluar masih basah.

Tiba-tiba aku mendengar langkah seseorang yang datang menghampiriku.
Tepat dari belakangku. Aku tidak bisa melihatnya. Karna belakangku gundukan sampah. Langkahnya pelan. Aku sangat senang, aku yakin itu Ibu. Ibu menjemputku, membawakan payung agar aku pulang.
Lalu aku disiapkan makanan, disiapkan telur goreng kesukaanku. Karena ibu tidak menjawab pertanyaanku.

Namun, Langkah itu mendadak terhenti, agak lama.
Aku tetap diam hingga sampai Ibu menemui ku.
Sengaja aku lakukan itu.
Namun langkah itu tiba-tiba kembali hadir, tapi menjauh meninggalkanku.
Lalu aku kecewa. Kenapa Ibu tidak menemukanku? atau sekedar memanggil namaku?.
Aku pun keluar dari tenda dengan cepat, aku melihat seorang wanita berlari kemudian masuk kedalam mobil dan bukan Ibuku, lalu pergi. Siapa dia? batinku.
Aku pandangi mobil itu bergerak meninggalkan tempat berdiriku dengan gerismis membanjiri tubuhku.
Lalu aku mendengar ada tangisan disekitarku.
Lalu suaranya pelan, kecil, sesak.
Aku mencarinya, lalu aku menemukan kardus rapi dan tidak basah dekat tendaku tadi, lalu aku heran, lalu aku buka perlahan. Lalu aku melihat adik bayi yang lucu diselimuti kain disekujur tubuhnya sambil menangis
Lalu dan lalu.   

Lalu aku panggil adik itu dengan “Adik kardus”.                 








Diterbitkan oleh Selasar.com

Medan, 7 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar